
Menteri PU: Hanya 51 Pesantren Miliki PBG
JAKARTA — Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo mengungkapkan bahwa hanya 51 pondok pesantren (ponpes) yang memiliki Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Sementara itu, jumlah ponpes di Indonesia mencapai 42.433 berdasarkan data Kementerian Agama tahun 2024/2025.
“Yang ter-record di sistem PBG kita hanya 51 yang berizin,” ujar Dody usai menerima kunjungan Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar di Kantor Kementerian PU, Jakarta Selatan, Selasa (07/10/2025).
Menurut Dody, banyak pengurus ponpes yang belum memahami pentingnya PBG untuk bangunan publik. Apalagi, PBG umumnya ditaati oleh pelaksana konstruksi di perkotaan, sementara kota-kota kecil sering kali tidak memperhatikan aspek ini.
“Mungkin karena pesantren itu selalu dari santri untuk santri, jadi mereka menganggap enggak perlu izin,” tambahnya.
Kementerian PU Bangun Ulang Ponpes Al Khoziny
Kementerian PU akan membangun ulang gedung Ponpes Al Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur yang ambruk pada Senin (29/09/2025). Dody Hanggodo menjelaskan bahwa sejatinya anggaran untuk pembangunan ponpes yang merupakan lembaga keagamaan ada di Kementerian Agama. Namun, mengingat insiden Ponpes tersebut merupakan darurat nasional, maka Kementerian PU ikut andil.
“Cuma kan ini kondisi darurat, yang di Sidoarjo pasti kita yang masuk,” kata Dody.
Namun demikian, pemerintah terbuka kepada pihak swasta jika ingin memberikan bantuan perbaikan ponpes-ponpes lain di seluruh Indonesia dengan bangunan yang sudah tua dan rawan roboh.
“Insya Allah cuma dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) ya, tapi tidak menutup kemungkinan nanti kalau juga ada bantuan dari swasta,” ujar Dody melanjutkan.
Bangunan Publik Harus Punya PBG
Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, pembangunan gedung, termasuk yang digunakan untuk kegiatan sosial, pendidikan, dan keagamaan, diatur secara rinci agar sesuai fungsi serta memenuhi persyaratan administratif dan teknis.
Mengacu pada Pasal 34 ayat (3) UU Nomor 28 Tahun 2002, penyelenggaraan bangunan gedung terdiri atas pemilik bangunan gedung, penyedia jasa konstruksi, dan pengguna bangunan gedung. Artinya, pemilik bangunan gedung, baik itu pemerintah, badan hukum, lembaga, atau perseorangan, berhak membangun gedung publik selama memenuhi ketentuan hukum yang berlaku.
Pasal 8 ayat (1) UU tersebut menyebut, setiap bangunan harus memenuhi tiga syarat administratif, yaitu:
- Status hak atas tanah atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah,
- Status kepemilikan bangunan gedung, dan
- IMB atau PBG.
Adapun pembangunan gedung publik, seperti ponpes, sekolah, rumah sakit, atau fasilitas keagamaan lainnya, wajib mendapatkan izin dari pemerintah daerah. Dalam Pasal 35 ayat (4) disebutkan bahwa pembangunan bangunan gedung hanya dapat dilaksanakan setelah rencana teknis disetujui oleh pemerintah daerah dalam bentuk IMB atau PBG, kecuali untuk bangunan dengan fungsi khusus.
Sementara untuk bangunan kepentingan umum, pengesahan rencana teknis dilakukan oleh pemerintah daerah setelah mendapat pertimbangan teknis dari tim ahli, sebagaimana tertera dalam Pasal 36 ayat (1).
UU Nomor 28 Tahun 2002 juga mengklasifikasikan bangunan berdasarkan fungsinya. Dalam Pasal 5 ayat (5) disebutkan bahwa bangunan gedung fungsi sosial dan budaya mencakup bangunan untuk pendidikan, kebudayaan, pelayanan kesehatan, laboratorium, dan pelayanan umum. Bangunan keagamaan seperti masjid, gereja, pura, wihara, dan kelenteng diatur dalam Pasal 5 ayat (3).
Dengan demikian, ponpes atau lembaga pendidikan keagamaan termasuk dalam kategori bangunan fungsi sosial dan keagamaan yang wajib memenuhi seluruh persyaratan administratif dan teknis sebagaimana diatur UU. UU tersebut juga menegaskan bahwa setiap pembangunan gedung tanpa izin atau yang tidak memenuhi ketentuan dapat dikenai sanksi administratif maupun pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 44 hingga 47. Sanksinya dapat berupa pembekuan izin, penghentian pembangunan, hingga perintah pembongkaran bangunan.
Leave a Comment